Karet di Indonesia
Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman
karet diperkenalkan di Indonesia yang pada waktu itu masih menjadi jajahan
Belanda. Mula-mula karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi.
Dari tanaman koleksi karet selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah sebagai
tanaman perkebunan komersial.
Pada waktu itu,
pemerintah Belanda mengembangkan tanaman karet karena kopi dan tembakau yang
merupakan andalan mereka sedang mengalami kelesuan di pasar dunia. Brasil yang
merupakan produsen utama kopi waktu itu bahkan menurunkan produksinya sampai
50%.
Daerah yang pertama
kali digunakan sebagai tempat uji coba penanaman karet adalah Pamanukan dan
Ciasem, Jawa Barat. Jenis yang pertama kali diujicobakan di kedua daerah
tersebut adalah spesies Ficus elastica atau karet rembung. Jenis karet Hevea
brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian timur pada tahun 1902 dan di Jawa
pada tahun 1906.
Pembukaan perkebunan
karet di Hindia Belanda memerlukan modal yang sangat besar, sehingga pemerintah
Belanda membuka kesempatan bagi para investor dari negara-negara lain untuk
bekerja sama. Akhirnya investor-investor dari Belanda, Inggris, Belgia, dan
Amerika Serikat ikut ambil bagian dalam pembukaan perkebunan karet di
Indonesia.
Perusahaan asing pertama
yang menanam karet dan mengelolanya secara komersial di Indonesia adalah
Harrison and Crossfield Company yang sebelumnya telah membuka perkebunan serupa
di Malaysia. Setelah Harrison and Crossfletd, perusahaan lain yang menyusul pembukaan
perkebunan karet di sini adalah Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia
pada tahun 1909 dan perusahaan patungan Belanda-Amerika Serikat bernama Holland
Amerikaanse Plantage Maatschappij pada tahun 1910-1911.
Pembukaan perkebunan
karet di Sumatera berjalan sangat lancar karena didukung sarana transportasi
yang memadai. Sarana tersebut adalah peninggalan usaha perkebunan tembakau yang
sudah berlangsung lama di sana.
Dari dulu hingga
sekarang harga karet mengalami fluktuasi yang cukup tajam. Pada tahun 1910-1911
harga karet dunia sangat tinggi yang bisa menambah kegairahan para pekebun karet
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun, pada tahun 1920-1921 saat
terjadi depresi ekonomi dunia, harga karet ikut anjlok. Meskipun demikian
pascadepresi ekonomi harga karet melonjak lagi. Hal ini disebabkan selain
kondisi perekonomian dunia sudah pulih, juga permintaan Amerika Serikat sangat
tinggi karena industri mobil berkembang pesat.
Perkebunan dan industri
pengolahan karet di Sumatera pada waktu itu dikelola dengan baik, dari teknik
budi daya sampai pemasarannya, sehingga semuanya berjalan dengan efisien.
Sayang sekali efisiensi tersebut tidak diikuti dengan memerhatikan
kesejahteraan para buruh, sehingga taraf hidup mereka tetap memprihatinkan. Di
perkebunan dan pabrik karet tersebut para buruh yang sebagian besar didatangkan
dari Pulau Jawa tersebut dieksploitasi tenaganya secara berlebihan. Keuntungan
perkebunan sepenuhnya dinikmati para pemilik modal.
Pemerintah Hindia
Belanda memberikan dorongan penuh terhadap pengembangan industri karet di
Indonesia. Pemerintah mempermudah proses pembukaan lahan, menyediakan tenaga
kerja, prasarana, teknologi pengolahan, sampai pemasarannya.Tanah konsesi yang
disewa dalam jangka panjang hanya dikenal pajak sebesar 1-2% dari ongkos
pembukaan lahan. Sementara Itu, tenaga kerja yang didatangkan dari Pulau Jawa
dibayar sangat murah.
Pada zaman Hindia
Belanda, di perkebunan dan pabrik karet para buruh yang sebagian besar didatangkan
dan Pulau Jawa dieksploitasi tenaganya secara berlebihan, sedangkan keuntungan
perkebunan sepenuhnya dinikmati para pemilik modal.
Tidak hanya perkebunan
milik perusahaan besar yang berkembang pesat di Indonesia pada waktu itu,
perkebunan milik rakyat pun berkembang sangat cepat. Selain karena permintaan
karet dunia yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan harga relatif
tinggi, perkembangan perkebunan karet rakyat juga disebabkan aspek budi dayanya
yang cukup mudah.
Pada zaman keemasan
karet Indonesia tersebut banyak masyarakat yang berhasil menunaikan Ibadah haji
dari hasil perkebunan mereka. Dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci Mekah,
mereka mampir ke Singapura dan Malaysia yang ketika itu menjadi pusat
perdagangan karet untuk membawa biji-biji karet dan selanjutnya dikembangkan di
Tanah Air.
Kegairahan rakyat
menanam karet semakin menjadi-jadi setelah depresi ekonomi dunia berakhir dan
harga karet melonjak. Pemerintah Belanda yang berkuasa ketika itu tidak membuat
regulasi apa pun berkaitan dengan pembukaan kebun karet oleh rakyat, sehingga
luas areal perkebunan karet di Indonesia, terutama di Pulau Sumatera, menjadi
tak terkendali.
Ketika produksi karet
melonjak akibat meluasnya areal perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan dan
rakyat, maka berlakulah hukum pasar, yakni harga menjadi anjlok atau turun
drastis. Stevenson Plan, sebuah regulasi tentang perdagangan karet
internasional yang dibuat oleh inggris dibubarkan sebagai akibat anjloknya
harga karet dunia.
Sebagai gantinya
dibuatlah peraturan intenaslonal lainnya, yaitu IRRA (International Rubber
Regulation Agreement) yang mengatur volume produksi dan ekspor karet dari
negara-negara produsen karet terkemuka dunia saat itu, meliputi Malaya,
Serawak, Kalimantan Utara, India, Hindia Beianda, Indocina, dan Thailand yang
berlaku efektif mulai 1944.
Kegairahan rakyat
menanam karet semakin menjadi-jadi setelah depresi ekonomi dunia berakhir dan
harga karet melonjak.
Konsekuensi dari
ratifikasi perjanjian IRRA adalah menekan perkembangan areal perkebunan karet,
terutama yang diusahakan oleh rakyat. Selain itu, pemerintah juga mengenakan
pajak ekspor sebesar 50% dari nilai keseluruhan, sehingga sangat membebani
usaha perkebunan karet rakyat.
Meskipun menghadapi
situasi yang sulit, perkebunan milik rakyat tetap berjalan. Hanya, kegairahan
mereka dalam membudidayakan dan memelihara tanamannya tidak seperti saat-saat
sebelumnya. Para petani karet masih mempertahankan tanamannya dengan harapan
suatu saat keadaan akan membaik. Para pedagang perantara yang merupakan mata
rantai penting dalam usaha perkebunan rakyat tetap menjalankan aktivitasnya
dengan membeli hasil produksi petani dan menyediakan barang barang kebutuhan
sehari-hari. Namun, harus diakui hasil yang diterima petani hanya cukup untuk
sekadar mempertahankan hidup sehari-hari.
Usai Perang Dunia II,
ketika negara-negara industri mulai berbenah dari puing-puing peperangan dan
membangun perekonomiannya, kebutuhan karet dunia kembali naik, sehingga memberi
kesempatan bagi Indonesia yang sudah merdeka mengisi kebutuhan tersebut.
Kenyataannya memang demikian karena pada saat itu sebagian besar kebutuhan
karet dunia dipenuhi Indonesia.
Meskipun demikian,
posisi sebagai pemasok karet dunia tidak diikuti langkah-langkah dalam
mempertahankannya.
Tidak ada perluasan
lahan dan pemeliharaan tanaman tidak dilakukan secara intensif. Bahkan, hal
paling penting, yaitu peremajaan tanaman juga tidak pernah dilakukan.
Faktor-faktor tersebut masih diperparah oleh situasi politik dalam negeri pada
awaI-awal kemerdekaan yang terus bergolak.
Turunnya produksi karet
akibat faktor-faktor tersebut segera menempatkan Malaysia yang sejak awal
membayangi pada urutan kedua Iangsung ke urutan pertama menggantikan posisi
Indonesia pada tahun 1960. Hal itu disebabkan perkebunan karet di Malaysia
sejak awal sudah dikelola secara sistematis dan intensif. Selain itu, Malaysia
juga memiliki lembaga riset karet yang berhasil menemukan klon-klon baru dengan
produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan klon-klon yang ditanam di
Indonesia.
Usai Perang Dunia II,
kebutuhan karet dunia kembali naik, sehingga memberi kesempatan bagi lndonesia
yang sudah merdeka mengisi kebutuhan tersebut.
Belajar dari pengalaman
tersebut para petani karet Indonesia mulai membenahi perkebunan mereka dengan
cara melakukan peremajaan tanaman, pemupukan Intensif, penggunaan pestisida,
dan pemanfaatan zat pemacu produksi. Sebagai gambaran, jika sebelumnya tanaman
karet tua berjumlah 73 juta batang, setelah peremajaan tinggal 32 juta batang.
Konsumsi pupuk yang pada tahun 1963 hanya 10.860 ton, sepuluh tahun kemudian
(1973) melonjak menjadi 50.000 ton.
Berkat upaya-upaya
perbaikan tersebut pada tahun 1978 produktivitas karet Indonesia meningkat
tajam. Faktor penunjang naiknya produktivitas karet juga diduga karena
kebijaksanaan transmigrasi , sehingga areal penanaman karet menjadi semakin
luas, serta dipilihnya klon-klon unggul dengan produktivitas tinggi. Kebetulan
pada waktu itu harga karet dunia sedang naik, sehingga kegairahan berkebun
karet pun semakin meningkat.
Sejak dekade 1980-an
hingga kini, permasalahan karet lndonesia adalah rendahnya mutu karet yang
dihasilkan, balk oleh perusahaan besar maupun rakyat. Karenanya, meskipun
produksi karet tinggi, tetap saia tidak bisa memengaruhi posisi Indonesia di
pasar karet internasional. Rendahnya mutu karet produksi Indonesia membuat
harganya di pasar intemasional menjadi rendah.
Meskipun demikian,
posisi Indonesia sebagai produsen karet utama dunia baik dalam volume dan
kualitas tetap bisa diraih kembali. Langkah-langkah yang bisa diambil untuk
mewujudkannya adalah memperbaiki teknik budi daya dan pengolahannya, sehingga
produktivitas dan kualitasnya dapat ditingkatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar