Kamis, 22 November 2018

SEJARAH TANAMAN KARET DI INDONESIA



Karet di Indonesia
    Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet diperkenalkan di Indonesia yang pada waktu itu masih menjadi jajahan Belanda. Mula-mula karet ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi. Dari tanaman koleksi karet selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersial.
Pada waktu itu, pemerintah Belanda mengembangkan tanaman karet karena kopi dan tembakau yang merupakan andalan mereka sedang mengalami kelesuan di pasar dunia. Brasil yang merupakan produsen utama kopi waktu itu bahkan menurunkan produksinya sampai 50%.

Daerah yang pertama kali digunakan sebagai tempat uji coba penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat. Jenis yang pertama kali diujicobakan di kedua daerah tersebut adalah spesies Ficus elastica atau karet rembung. Jenis karet Hevea brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian timur pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906.

Pembukaan perkebunan karet di Hindia Belanda memerlukan modal yang sangat besar, sehingga pemerintah Belanda membuka kesempatan bagi para investor dari negara-negara lain untuk bekerja sama. Akhirnya investor-investor dari Belanda, Inggris, Belgia, dan Amerika Serikat ikut ambil bagian dalam pembukaan perkebunan karet di Indonesia.

Perusahaan asing pertama yang menanam karet dan mengelolanya secara komersial di Indonesia adalah Harrison and Crossfield Company yang sebelumnya telah membuka perkebunan serupa di Malaysia. Setelah Harrison and Crossfletd, perusahaan lain yang menyusul pembukaan perkebunan karet di sini adalah Sociente Financiere des Caoutchoues dari Belgia pada tahun 1909 dan perusahaan patungan Belanda-Amerika Serikat bernama Holland Amerikaanse Plantage Maatschappij pada tahun 1910-1911.

Pembukaan perkebunan karet di Sumatera berjalan sangat lancar karena didukung sarana transportasi yang memadai. Sarana tersebut adalah peninggalan usaha perkebunan tembakau yang sudah berlangsung lama di sana.

Dari dulu hingga sekarang harga karet mengalami fluktuasi yang cukup tajam. Pada tahun 1910-1911 harga karet dunia sangat tinggi yang bisa menambah kegairahan para pekebun karet di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun, pada tahun 1920-1921 saat terjadi depresi ekonomi dunia, harga karet ikut anjlok. Meskipun demikian pascadepresi ekonomi harga karet melonjak lagi. Hal ini disebabkan selain kondisi perekonomian dunia sudah pulih, juga permintaan Amerika Serikat sangat tinggi karena industri mobil berkembang pesat.

Perkebunan dan industri pengolahan karet di Sumatera pada waktu itu dikelola dengan baik, dari teknik budi daya sampai pemasarannya, sehingga semuanya berjalan dengan efisien. Sayang sekali efisiensi tersebut tidak diikuti dengan memerhatikan kesejahteraan para buruh, sehingga taraf hidup mereka tetap memprihatinkan. Di perkebunan dan pabrik karet tersebut para buruh yang sebagian besar didatangkan dari Pulau Jawa tersebut dieksploitasi tenaganya secara berlebihan. Keuntungan perkebunan sepenuhnya dinikmati para pemilik modal.

Pemerintah Hindia Belanda memberikan dorongan penuh terhadap pengembangan industri karet di Indonesia. Pemerintah mempermudah proses pembukaan lahan, menyediakan tenaga kerja, prasarana, teknologi pengolahan, sampai pemasarannya.Tanah konsesi yang disewa dalam jangka panjang hanya dikenal pajak sebesar 1-2% dari ongkos pembukaan lahan. Sementara Itu, tenaga kerja yang didatangkan dari Pulau Jawa dibayar sangat murah.

Pada zaman Hindia Belanda, di perkebunan dan pabrik karet para buruh yang sebagian besar didatangkan dan Pulau Jawa dieksploitasi tenaganya secara berlebihan, sedangkan keuntungan perkebunan sepenuhnya dinikmati para pemilik modal.

Tidak hanya perkebunan milik perusahaan besar yang berkembang pesat di Indonesia pada waktu itu, perkebunan milik rakyat pun berkembang sangat cepat. Selain karena permintaan karet dunia yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan harga relatif tinggi, perkembangan perkebunan karet rakyat juga disebabkan aspek budi dayanya yang cukup mudah.

Pada zaman keemasan karet Indonesia tersebut banyak masyarakat yang berhasil menunaikan Ibadah haji dari hasil perkebunan mereka. Dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci Mekah, mereka mampir ke Singapura dan Malaysia yang ketika itu menjadi pusat perdagangan karet untuk membawa biji-biji karet dan selanjutnya dikembangkan di Tanah Air.

Kegairahan rakyat menanam karet semakin menjadi-jadi setelah depresi ekonomi dunia berakhir dan harga karet melonjak. Pemerintah Belanda yang berkuasa ketika itu tidak membuat regulasi apa pun berkaitan dengan pembukaan kebun karet oleh rakyat, sehingga luas areal perkebunan karet di Indonesia, terutama di Pulau Sumatera, menjadi tak terkendali.

Ketika produksi karet melonjak akibat meluasnya areal perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan dan rakyat, maka berlakulah hukum pasar, yakni harga menjadi anjlok atau turun drastis. Stevenson Plan, sebuah regulasi tentang perdagangan karet internasional yang dibuat oleh inggris dibubarkan sebagai akibat anjloknya harga karet dunia.

Sebagai gantinya dibuatlah peraturan intenaslonal lainnya, yaitu IRRA (International Rubber Regulation Agreement) yang mengatur volume produksi dan ekspor karet dari negara-negara produsen karet terkemuka dunia saat itu, meliputi Malaya, Serawak, Kalimantan Utara, India, Hindia Beianda, Indocina, dan Thailand yang berlaku efektif mulai 1944.

Kegairahan rakyat menanam karet semakin menjadi-jadi setelah depresi ekonomi dunia berakhir dan harga karet melonjak.

Konsekuensi dari ratifikasi perjanjian IRRA adalah menekan perkembangan areal perkebunan karet, terutama yang diusahakan oleh rakyat. Selain itu, pemerintah juga mengenakan pajak ekspor sebesar 50% dari nilai keseluruhan, sehingga sangat membebani usaha perkebunan karet rakyat.

Meskipun menghadapi situasi yang sulit, perkebunan milik rakyat tetap berjalan. Hanya, kegairahan mereka dalam membudidayakan dan memelihara tanamannya tidak seperti saat-saat sebelumnya. Para petani karet masih mempertahankan tanamannya dengan harapan suatu saat keadaan akan membaik. Para pedagang perantara yang merupakan mata rantai penting dalam usaha perkebunan rakyat tetap menjalankan aktivitasnya dengan membeli hasil produksi petani dan menyediakan barang barang kebutuhan sehari-hari. Namun, harus diakui hasil yang diterima petani hanya cukup untuk sekadar mempertahankan hidup sehari-hari.

Usai Perang Dunia II, ketika negara-negara industri mulai berbenah dari puing-puing peperangan dan membangun perekonomiannya, kebutuhan karet dunia kembali naik, sehingga memberi kesempatan bagi Indonesia yang sudah merdeka mengisi kebutuhan tersebut. Kenyataannya memang demikian karena pada saat itu sebagian besar kebutuhan karet dunia dipenuhi Indonesia.

Meskipun demikian, posisi sebagai pemasok karet dunia tidak diikuti langkah-langkah dalam mempertahankannya.

Tidak ada perluasan lahan dan pemeliharaan tanaman tidak dilakukan secara intensif. Bahkan, hal paling penting, yaitu peremajaan tanaman juga tidak pernah dilakukan. Faktor-faktor tersebut masih diperparah oleh situasi politik dalam negeri pada awaI-awal kemerdekaan yang terus bergolak.

Turunnya produksi karet akibat faktor-faktor tersebut segera menempatkan Malaysia yang sejak awal membayangi pada urutan kedua Iangsung ke urutan pertama menggantikan posisi Indonesia pada tahun 1960. Hal itu disebabkan perkebunan karet di Malaysia sejak awal sudah dikelola secara sistematis dan intensif. Selain itu, Malaysia juga memiliki lembaga riset karet yang berhasil menemukan klon-klon baru dengan produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan klon-klon yang ditanam di Indonesia.

Usai Perang Dunia II, kebutuhan karet dunia kembali naik, sehingga memberi kesempatan bagi lndonesia yang sudah merdeka mengisi kebutuhan tersebut.

Belajar dari pengalaman tersebut para petani karet Indonesia mulai membenahi perkebunan mereka dengan cara melakukan peremajaan tanaman, pemupukan Intensif, penggunaan pestisida, dan pemanfaatan zat pemacu produksi. Sebagai gambaran, jika sebelumnya tanaman karet tua berjumlah 73 juta batang, setelah peremajaan tinggal 32 juta batang. Konsumsi pupuk yang pada tahun 1963 hanya 10.860 ton, sepuluh tahun kemudian (1973) melonjak menjadi 50.000 ton.

Berkat upaya-upaya perbaikan tersebut pada tahun 1978 produktivitas karet Indonesia meningkat tajam. Faktor penunjang naiknya produktivitas karet juga diduga karena kebijaksanaan transmigrasi , sehingga areal penanaman karet menjadi semakin luas, serta dipilihnya klon-klon unggul dengan produktivitas tinggi. Kebetulan pada waktu itu harga karet dunia sedang naik, sehingga kegairahan berkebun karet pun semakin meningkat.

Sejak dekade 1980-an hingga kini, permasalahan karet lndonesia adalah rendahnya mutu karet yang dihasilkan, balk oleh perusahaan besar maupun rakyat. Karenanya, meskipun produksi karet tinggi, tetap saia tidak bisa memengaruhi posisi Indonesia di pasar karet internasional. Rendahnya mutu karet produksi Indonesia membuat harganya di pasar intemasional menjadi rendah.

Meskipun demikian, posisi Indonesia sebagai produsen karet utama dunia baik dalam volume dan kualitas tetap bisa diraih kembali. Langkah-langkah yang bisa diambil untuk mewujudkannya adalah memperbaiki teknik budi daya dan pengolahannya, sehingga produktivitas dan kualitasnya dapat ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KLASIFIKASI TANAMAN KAPAS

Pengertian Kapas Adalah serat halus yang menyelubungi biji beberapa jenis Gossypium atau tanaman kapas. Serat kapas merupakan ...